Kasus Bank Bali 1999
Salah satu drama
paling getir dalam gelombang krisis moneter 1997-1998 adalah skandal cessie
Bank Bali.   Skandal ini menyangkut sejumlah nama besar,  mulai
Gubernur Bank Indonesia, sejumlah pejabat negara, tokoh partai Golkar seperti
Setya Novanto, bahkan menyerempet nama Presiden RI ketiga, BJ Habibie.
Bank Bali, bank ini tersandung kasus cessie (hak
tagih piutang) yang membuat pemiliknya dan berbagai tokoh terjerat. Waktu
berlangsungnya peristiwa ini adalah pada tanggal 11 januari 1999, dimana
terjadinya perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara pihak Bank
Bali (Rudy Ramly) dengan PT Era Giat Prima (EGP) (Djoko Tjandra) yang berperan
sebagai Direktur dan Setya Novanto yang saat itu Bendahara Partai Golkar yang
menjabat sebagai direktur utamanya.
Bahkan  dalam
kasus ini, Rudy Ramli - Direktur Utama Bank Bali yang juga  anak kandung
Djaya Ramli, pendiri Bank Bali - menjadi pesakitan dan duduk sebagai tersangka.
Proses hukum Bank Bali
sungguh berliku,  dan sebenarnya belum benar-benar tuntas hingga saat ini.
Sementara nama Bank Bali sudah lama mati.    
Skandal ini bermula
saat Direktur Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya
yang tertanam di brankas Bank Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum
Nasional (BUM), dan Bank Tiara pada 1997.
Pada
awalnya Direktur Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih
piutangnya yang tertanam di brankas Bank Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI),
Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara pada 1997. Total piutang Bank Bali di
tiga bank itu sekitar Rp 3 triliun.  Namun, ketiga bank itu masuk
perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sehingga tagihan tersebut
tidak kunjung cair.
Total piutang Bank
Bali di tiga bank itu sekitar Rp 3 triliun. Hingga ketiga bank itu masuk
perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), (tagihan tersebut tak
kunjung cair)
Di tengah
keputusasaannya, akhirnya Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era Giat
Prima (EGP). di mana Djoko Tjandra duduk selaku direktur dan Setya Novanto yang
saat itu Bendahara Partai Golkar menjabat direktur utamanya.
Januari 1999, antara
Rudy Ramli dan Era Giat menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih.
Disebutkan, Era Giat bakal menerima fee yang besarnya setengah dari duit yang
dapat ditagih.
Dan memang
betul, cespleng. Bank Indonesia (BI) dan BPPN akhirnya setuju
mengucurkan duit Bank Bali itu. Jumlahnya Rp 905 miliar. Namun Bank Bali hanya
mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60% atau Rp 546 miliar, masuk rekening
Era Giat.    
Konon, kekuatan
politik turut andil mengegolkan proyek ini. Saat itu sejumlah tokoh Golkar disebut-sebut
terlibat untuk ”membolak-balik” aturan dengan tujuan proyek pengucuran duit itu
berhasil.
Isu ini terus
menggelinding bak bola liar, setelah pakar hukum perbankan Pradjoto angkat
bicara. Pradjoto mencium skandal cessie ini berkaitan erat dengan pengumpulan
dana untuk memajukan Habibie ke kursi presiden. Kejanggalan tampak dari
total fee yang diterima Era Giat.
Perlahan-lahan,
kejanggalan itu mulai terkuak. Cessie itu, misalnya, tak diketahui BPPN,
padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN. Cessie itu juga tak
dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa. Selain
itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan Era Giat.
Genderang Perang
Ketua BPPN saat itu,
Glenn M.S. Yusuf sadar akan kejanggalan cessie Bank Bali dan kemudian
membatalkan perjanjian cessie. Mulai saat itulah, genderang perang 
ditabuh
Setyanovanto lalu
menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap
menang di tingkat banding, Mahkamah Agung (MA), melalui putusan kasasinya pada
November 2004, memenangkan BPPN.
Tak cukup di situ, Era
Giat  juga membawa kasus ini ke ranah perdata dengan menggugat Bank Bali
dan BI agar mencairkan dana Rp 546 miliar. Pengadilan, pada April 2000,
memutuskan Era Giat berhak atas dana lebih dari setengah triliun rupiah itu.
Kasus ini terus
bergulir ke tingkat selanjutnya. Melalui putusan kasasinya, Mahkamah Agung
memutuskan duit itu milik Bank Bali. Di tingkat peninjauan kembali, putusan itu
tetap sama: duit itu hak Bank Bali.
Di saat bersamaan,
Kejagung mengambil alih kasus ini dan menetapkan sejumlah tersangka, antara
lain Djoko Tjandra, Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil Kepala
BPPN), Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng (Mentri Pendayagunaan BUMN).
Mereka dituding telah
melakukan korupsi yang merugikan kantong negara. Kejaksaan menyita dana Rp 546
miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di
Bank Bali.
Dari kesekian banyak
tersangka, akhirnya hanya tiga orang yang diadili yaitu; Djoko Tjandra,
Syahril, dan Pande Lubis. Pande Lubis dihukum empat tahun penjara atas putusan
MA tahun 2004.
Adapun Syahril
Sabirin, kendati pengadilan negeri menjatuhkan vonis penjara tiga tahun,
belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu.
Yang kontroversial
adalah Djoko. Selain hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan, Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi,
lagi-lagi  Djoko  dinyatakan bebas.
Satu-satunya hakim
kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion atas putusan
Djoko adalah Hakim Agung Artijo Alkostar. Kejaksaan tak menyerah dengan
mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni melalui mekanisme peninjauan kembali
(PK).
Hasilnya memang tak
sia-sia. MA akhirnya memutuskan Djoko dan Sjahril Sabirin bersalah dan mengukum
keduanya dua tahun penjara.
Nah kini, tinggal
menanti kejutan. Akan kah Djoko bisa dibawa kembali ke tanah air melaksanakan
hukumnya.
Menurut pendapat saya
atas kasus ini adalah :
Kasus Bank Bali ini ditutup-tutupi dan penuh dengan drama serta kebohongan
peran poitik. Kasus ini serasa ditutup-tutupi hingga dapat mengelabui aparat
penegak keadilan. Dari hukuman yang diberikan kepada tersangkapun kurang
setimpal, melihat kerugian yang dirasakan oleh Negara. Kurangnya hukuman yang
tegas tanpa pandang bulu seharusnya dapat ditegakkan agar tidak terulang
kembali polemik kasus seperti ini.
Ex :

0 comments:
Post a Comment