Industri Manufaktur Indonesia
Industri adalah kelompok
perusahaan yang menghasilkan dan menjual barang sejenis atau jasa
sejenis.Misalnya industri tekstil adalah kelompok perusahaan yang menjual dan
menghasilkan bahan baku tekstil,barang setengah jadi tekstil dan barang jadi
tekstil.Manufaktur berasal dari kata manufacture yang berarti membuat
dengan tangan (manual) atau denganmesin sehingga menghasilkan sesuatu barang.
Misalnya membuat kue, baik dengan tangan maupundengan mesin merupakan
kegiatan yang disebut manufaktur.
Perkembangan Industri Manufaktur
Berbeda dengan periode Orde Lama, pada era Orde Baru,
industri merupakan sektor prioritas utama. Untuk mendukung pembangunan industri
nasional, pemerintah menganut dua strategi industrialisasi yang berbeda yang
dijalankan secara berturut-turut, yakni diawali dengan substitusi impor dengan
penekanan pada industri-industri padat karya seperti tekstil dan
produk-produknya, seperti pakaian jadi (TPT), alas kaki, produk-produk dari
kayu (khususnya kayu lapis), dan makanan serta minuman, dan dilanjutkan
belakangan dengan pembangunan industri-industri perakitan otomotif, dan
kemudian pada awal dekade 80-an bergeser secara bertahap ke promosi ekspor.
Strategi kedua ini terfokus pada pengembangan industri-industri padat karya
yang berorientasi ekspor.
Selama periode Orde Baru, ekonomi Indonesia telah mengalami
suatu perubahan struktural yang besar dari suatu ekonomi dimana sektor
pertanian memainkan suatu peran yang sangat dominan di dalam
pembentukan/pertumbuhan PDB Indonesia ke suatu ekonomi dimana sumbangan PDB
dari sektor tersebut menjadi sangat berkurang. Pada tahun 1965, kontribusi
pertanian tercatat sekitar 56 persen dan tahun 1997 tinggal 16 persen dari PDB,
atau hanya sepertiga dari pangsanya tahun 1965 (Gambar 2). Sementara itu
industri manufaktur tumbuh sangat pesat pada kisaran 13 persen rata-rata per
tahun selama periode 1975-97. Ini membuat pangsa PDB dari industri manufaktur
naik dari sekitar 8 persen tahun 1965 melewati sektor pertanian tahun 1991, dan
tahun 1995 menjadi sekitar 24% dari PDB Indonesia, tiga kali lebih besar dari
pangsanya tahun 1965. Biasanya, sektor-sektor sekunder lainnya seperti
konstruksi, transportasi, dan listrik, gas dan suplai air bersih, dan juga
sektor-sektor tersier seperti keuangan dan jasa lainnya ikut berkembang
mengikuti perkembangan industri, atau sektor-sektor sekunder (selain industri)
dan tersier semakin penting dalam proses industrialisasi. Karena perkembangan
industri dengan sendirinya menciptakan permintaan terhadap sektor-sektor
non-primer tersebut. Perkembangan industri memerlukan infrastruktur seperti
jalan-jalan raya, kompleks-kompleks industri dan gedung-gedung perkantoran, dan
juga jasa-jasa keuangan dan penyewaan (lisensi). Sektor jasa juga menunjukkan
suatu tren yang positif periode tersebut.
Perkembangan industry Nasional tidak hanya karena pertumbuhan ekonominya yang pesat yang bisa berlangsung terus dalam suatu jangka waktu yang lama, tetapi juga karena pembangunan industrinya yang sangat pesat, Indonesia sempat masuk di dalam kelompok negara-negara Asia Tenggara dan Timur yang dijuluki “East Asian economic miracle.” (Hill, 1996). Bahkan di dalam kelompok ini yang termasuk Hong Kong, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Taiwan, Thailand dan Singapura, kemajuan ekonomi Indonesia pada saat itu dianggap sangat impresif terutama untuk pencapaian dalam pembangunan sektor industrinya. Juga, Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara penghasil minyak lainnya yang tergabung dalam negara-negara pengekspor minyak (Organisation of Petroleum Exporting Countries/OPEC) untuk kemajuan sektor industri manufakturnya. Bahkan selama periode 1980-an dan 1990-an, Indonesia sempat menjadi salah satu pemain kunci dalam sejumlah industri, dari minyak kelapa sawit ke TPT hingga elektornik (USAID dan SENADA, 2006). Jadi, dapat dikatakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan output industri manufaktur yang pesat merupakan karakteristik utama dari ekonomi Indonesia selama era Orde Baru.
Sebelum era Orde Baru (1966), ekonomi Indonesia masuk ke dalam suatu periode stagnasi yakni pada saat mana praktis tidak ada pertumbuhan PDB dan output industri yang berarti yang dikombinasikan dengan meroketnya inflasi dan menurunnya pendapatan per kapita. Setelah Orde Lama diganti dengan Orde Baru, PDB mulai menunjukkan pertumbuhan yang pada awalnya hanya sekitar 5 persen rata-rata per tahun hingga jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada tahun 1982, setelah itu mulai meningkat yang mencapai rata-rata 7 persen per tahun hingga 1997.
Laju pertumbuhan output di industri manufaktur selalu lebih besar daripada pertumbuhan produksi industri migas, yang membuat industri manufaktur mempunyai suatu pengaruh yang non-proporsional terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ekonomi Indonesia bisa bergerak mengurangi tingkat ketergantungannya pada migas dan bisa tumbuh pesat walaupun output sektor pertanian tumbuh dengan laju per tahun rendah.
Perkembangan industry Nasional tidak hanya karena pertumbuhan ekonominya yang pesat yang bisa berlangsung terus dalam suatu jangka waktu yang lama, tetapi juga karena pembangunan industrinya yang sangat pesat, Indonesia sempat masuk di dalam kelompok negara-negara Asia Tenggara dan Timur yang dijuluki “East Asian economic miracle.” (Hill, 1996). Bahkan di dalam kelompok ini yang termasuk Hong Kong, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Taiwan, Thailand dan Singapura, kemajuan ekonomi Indonesia pada saat itu dianggap sangat impresif terutama untuk pencapaian dalam pembangunan sektor industrinya. Juga, Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara penghasil minyak lainnya yang tergabung dalam negara-negara pengekspor minyak (Organisation of Petroleum Exporting Countries/OPEC) untuk kemajuan sektor industri manufakturnya. Bahkan selama periode 1980-an dan 1990-an, Indonesia sempat menjadi salah satu pemain kunci dalam sejumlah industri, dari minyak kelapa sawit ke TPT hingga elektornik (USAID dan SENADA, 2006). Jadi, dapat dikatakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan output industri manufaktur yang pesat merupakan karakteristik utama dari ekonomi Indonesia selama era Orde Baru.
Sebelum era Orde Baru (1966), ekonomi Indonesia masuk ke dalam suatu periode stagnasi yakni pada saat mana praktis tidak ada pertumbuhan PDB dan output industri yang berarti yang dikombinasikan dengan meroketnya inflasi dan menurunnya pendapatan per kapita. Setelah Orde Lama diganti dengan Orde Baru, PDB mulai menunjukkan pertumbuhan yang pada awalnya hanya sekitar 5 persen rata-rata per tahun hingga jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada tahun 1982, setelah itu mulai meningkat yang mencapai rata-rata 7 persen per tahun hingga 1997.
Laju pertumbuhan output di industri manufaktur selalu lebih besar daripada pertumbuhan produksi industri migas, yang membuat industri manufaktur mempunyai suatu pengaruh yang non-proporsional terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ekonomi Indonesia bisa bergerak mengurangi tingkat ketergantungannya pada migas dan bisa tumbuh pesat walaupun output sektor pertanian tumbuh dengan laju per tahun rendah.
Faktor yang memungkinkan pertumbuhan
yang sangat pesat:
Pertama, iklim ekonomi Indonesia pada akhir 1960-an telah mengalami
perbaikan yang sangat berarti akibat kebijaksanaan stabilisasi, rekonstruksi
dan rehabilisasi ekonomi yang langsung dilakukan oleh pemerintah Orde Baru
setelah peralihan kekuasaan dari Orde Lama. 
Kedua, sejumlah tindakan konkrit yang dilakukan pemerintah Orde
Baru yang bertujuan memberikan peluang yang lebih besar bagi kekuatan pasar
melalui usaha menghilangkan kontrol ketat pemerintah pada zaman Orde Lama.
Diantaranya adalah liberalisasi perdagangan internasional, khususnya melalui
penghapusan berbagai pengawasan terhadap ekspor dan impor serta penghapusan
system kurs devisa berganda yang rumit yang telah menjadi cirri kebijaksanaan
ekonomi Orde Lama. 
Ketiga, perlakuan khusus yang sebelumnya dinikmati hanya oleh
BUMN-BUMN (seperti subsidi) dikurangi. 
Keempat, dikeluarkannya undang-undang investasi yang menandakan
mulainya era liberalisasi investasi di dalam negeri, yakni UU Penanaman Modal
Asing (PMA) tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968).
UU investasi ini bukan hanya memberikan peluang tetapi juga landasan hokum yang
kuat bagi para investor asing dan domestik untuk menanamkan modal mereka di
berbagai kegiatan produktif, termasuk sektor industri, di Indonesia. 
Kelima, akibat kekurangan besar akan berbagai macam barang jadi
yang muncul dalam tahun-tahun terakhir rezim Orde Lama. Kondisi pasar seperti
secara potensial menimbulkan permintaan yang sangat besar dan hal ini menjadi
suatu perangsang bagi pertumbuhan industri di dalam negeri. Terutama bagi
industri-industri yang selama Orde Lama beroperasi jauh di bawah tingkat
optimal karena berbagai alasan seperti tidak tersedianya bahan-bahan baku,
suku-suku cadang, dan komponen-komponen atau sulit mengimpor input-input
tersebut akibat kekuarangan devisa, kondisi pasar yang demand-excess seperti
ini adalah suatu kesempatan besar bagi industri-industri tersebut meningkatkan
produksi mereka sesuai kapasitas terpasang mereka pada saat itu tanpa perlu
investasi baru secara besar-besaran. 
Keenam, tersedianya devisa dalam jumlah yang banyak sesudah tahun
1998 akibat kenaikan yang pesat dari ekspor minyak bumi dan mineral-mineral
non-minyak dan kayu gelondongan serta arus modal dari luar baik dalam bentuk
bantuan luar negeri maupun PMA. Ketujuh, pola industrialisasi substitusi impor
yang ditempuh pemerintah Orde Baru, yang memungkinkan pertumbuhan produksi
dalam negeri terutama barang jadi.
Memang pada awal era Orde Baru, pemerintah beralasan kuat
untuk menganut kebijakan-kebijakan investasi dan perdagangan terbuka. Karena
pada saat itu, pemerintahan Soeharto menyadari bahwa ini satu-satunya cara
untuk menarik investasi dan bantuan pendanaan dari luar, khususnya dari dunia
barat, yang sangat diperlukan untuk memulihkan kembali perekonomian nasional
yang sudah sangat buruk peninggalan Orde Lama. Namun pada akhir 1970-an,
pemerintah kembali ke regim proteksi dan memperbesar intervensi langsungnya,
terutama menyangkut pembangunan industri. 
Produksi makanan dan kayu merupakan jenis-jenis kegiatan
industri yang mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif atas negara-negara
lain. Keunggulan komparatif Indonesia dalam produksi makanan dan kayu
diantaranya adalah tenaga kerja yang murah dan membuat makanan dan
produk-produk dari kayu adalah kegiatan-kegiatan industri padat karya, dan kaya
SDA (pertanian dan hutan pohon yang luas). Tentu, dengan kemajuan teknologi
saat ini, Indonesia juga harus mengembangkan keunggulan kompetitifnya seperti
kualitas SDM dan teknologi untuk tetap unggul di pasar dunia untuk kedua jenis
produk tersebut. 
Kelemahan industri Indonesia seperti juga di banyak NSB
lainnya adalah masih lemahnya industri pendukung mulai dari pembuatan mesin
hingga sejumlah komponen untuk satu produk jadi seperti mobil. Karena pada
umumnya sifat dari proses-proses produksi di kelompok industri-industri berat
seperti pengolahan logam hingga mesin-mesin sangat kompleks dan memerlukan SDM
dengan ketrampilan tinggi, teknologi, dan modal yang lebih tinggi dibandingkan
industri-industri ringan, walaupun di dalam beberapa hal, proses produksi
implosive di subsektor industri berat untuk jenis industri-industri enjiniring dilakukan
secara efisien dengan menggunakan teknologi padat karya.
Kelemahan pembangunan industri
nasional hingga saat ini:
Pertama, selama 30 tahun lebih sejak Indonesia memulai
industrialisasi pada awal pemerintahan Orde Baru sempai sekarang, industri
nasional telah mengalami perluasan struktur, bobotnya masih lebih berat pada
kelompok industri ringan, khususnya barang-barang konsumsi ringan seperti
makanan, minuman, tembakau, tekstil dan kayu. Selain itu, walaupun sepanjang
periode tersebut banyak muncul industri-industri yang menghasilkan bahan-bahan
baku dan penolong, sebagian besar dari NT yang dihasilkan oleh
industri-industri tersebut berasal dari cabang-cabang industri yang sifat dari
pengolahan bahan-bahan bakunya tidak memerlukan suatu mata rantai yang panjang
untuk langsung menjadi barang-barang jadi seperti tekstil atau tekstil menjadi
pakaian jadi, dan kayu menjadi meubel dan kertas.
Kedua, sebagian besar cabang-cabang industri yang mengolah
bahan-bahan baku dan penolong memiliki tahap-tahap produksi yang relatif pendek
dan hanya mencakup proses implosive pada tahap-tahap paling akhir. Hal ini
dapat dilihat dari data perdagangan internasional Indonesia menurut jenis
industri yang menunjukkan tingginya kandungan impor dari produk-produk
tersebut. Hingga saat ini sebagian besar dari cabang-cabang industri tersebut
masih lebih bersifat sebagai industri perakitan, terkecuali industri-industri
pupuk, karet, kayu, semen dan pengilangan minyak.
Ketiga, walaupun ada perkembangan selama tiga dekade terakhir ini,
kontribusi terhadap pembentukan NT dari industri manufaktur atau PDB pada
tingkat lebih luas dari industri-industri dasar atau hulu seperti besi baja
masih relatif kecil. Padahal, kemajuan pembangunan sektor industri atau
peningkatan industrialisasi di suatu negara dicerminkan juga oleh peningkatan
pangsa NT dari industri manufaktur atau PDB dari industri besi baja. Hal ini
disebabkan belum berkembangnya industri-industri barang modal atau lainnya di
dalam negeri yang memakai output dari industri besi baja sebagai inputnya.
Dalam kata lain keterkaitan produksi domestik dari industri besi baja ke depan
dengan industri-industri tengah masih lemah: industri-industri hilir yang
memerlukan mesin atau komponen atau barang lainnya berbahan baku besi atau baja
masih impor dari luar, sementara output dari industri besi baja di Indonesia
langsung di ekspor shingga tidak menghasilkan NT yang berarti di dalam negeri.
Keempat, ketergantungan impor dari industri nasional masih sangat
tinggi, terutama kelompok industri-industri tengah yang membuat bahan-bahan
baku dan penolong, barang-barang modal dan alat-alat produksi, dan kelompok
industri-industri hilir, khususnya barang-barang konsumsi tahan lama. Akibatnya
sumbangan NT dari industri-industri tersebut masih relatif kecil; walaupun
untuk industri-industri tertentu ada kenaikan selama tiga dekade terakhir ini.
Salah satu penyebabnya adalah bahwa sebagian besar dari industri-industri
tersebut masih bersifat perakitan, dan industri-industri penunjang belum
berkembang baik.
Pada 2015
Kinerja industri manufaktur sepanjang 2015 mencapai
Rp2.097,71 triliun atau berkontribusi 18,1% terhadap PDB nasional, dengan
sokongan terbesar dari sektor makanan dan minuman, barang logam, alat angkutan
serta industri kimia, farmasi, dan obat tradisional.Raihan tersebut meningkat
di bandingkan dengan tahun sebelumnya yakni senilai Rp1.884 triliun atau
memberikan kontribusi 17,8% terhadap PDB nasional.Sekretaris Jenderal
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Syarif Hidayat mengatakan kenaikan porsi
tersebut disebabkan oleh turunnya kontribusi dari beberapa sektor lain seperti
minyak dan gas (migas), komoditas perkebunan, dan pertambangan.Sektor industri
pengolahan secara umum berkontribusi 20,84% atau mencapai Rp2.405,4 triliun
dari PDB nasional senilai Rp11.540,79 triliun.Adapun dari capaian sektor
pengolahan nonmigas, kontribusi terbesar masih disokong oleh industri makanan
dan minuman sebesar 30,84%. Selanjutnya disusul oleh industri barang logam,
barang elektronik dan peralatan listrik (10,81%), industri alat angkutan
(10,5%) serta industri kimia, farmasi dan obat tradisional (9,98%).Kendati
kondisi perekonomian pada 2015 lebih sulit ketimbang tahun sebelumnya, secara
nilai ndustrinya, manufaktur nasional masih mengalami pertumbuhan.Hal tersebut
disebabkan oleh meningkatnya investasi, baik dari investor baru maupun pelaku
usaha yang melakukan ekspansi.
Pada 2016
Industri manufaktur besar dan sedang menunjukkan
perkembangan yang cukup bagus menjelang akhir 2016. Pada kuartal III, industri
ini tumbuh sebesar 5,7% atau lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang
sebesar 5,01%.”Pertumbuhan industri manufaktur pada kuartal III mencapai
5,7%," ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto dalam
konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta.
Tiga kelompok industri utama dengan pertumbuhan tertinggi adalah farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional dengan 11,26%, makanan 7,70% dan kulit, barang dari kulit dan alas kaki dengan 7,28%.Sementara itu, industri yang mengalami penurunan adalah tekstil sebesar 8,96%, industri pengolahan lainnya sebesar 9,83% dan karet dan barang dari karet dan plastik sebesar 12,58%.
"Dengan kondisi ini, bisa juga menjadi gambaran dari kondisi perekonomian kuartal III,"
Sementara itu, untuk manufaktur mikro dan kecil, pertumbuhannya mencapai 5,75% atau lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya yang justru mencapai 6,56%.Kelompok dengan pertumbuhan tertinggi adalah komputer, barang elektronik dan optik sebesar 34,11%. Kemudian percetakan dan reproduksi media rekaman sebesar 20,84% dan kertas dan barang dari kertas sebesar 19,05%.
Sejarah Industri Di Indonesia
Revolusi Industri merupakan periode antara tahun
1750-1850 di mana terjadinya perubahan secara besar-besaran di bidang
pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki
dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi,
dan budaya di
dunia. Revolusi Industri dimulai dari Britania Raya dan
kemudian menyebar ke seluruh Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang,
dan akhirnya ke seluruh dunia.
Revolusi Industri menandai terjadinya titik balik besar
dalam sejarah dunia, hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh
Revolusi Industri, khususnya dalam hal peningkatan pertumbuhan penduduk dan
pendapatan rata-rata yang berkelanjutan dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Selama dua abad setelah Revolusi Industri, rata-rata pendapatan perkapita
negara-negara di dunia meningkat lebih dari enam kali lipat. Seperti yang
dinyatakan oleh pemenang Hadiah Nobel, Robert Emerson Lucas, bahwa: "Untuk
pertama kalinya dalam sejarah, standar hidup rakyat biasa mengalami pertumbuhan
yang berkelanjutan. Perilaku ekonomi yang seperti ini tidak pernah terjadi
sebelumnya
Industri di dunia diawali dari Revolusi
Industri ( RI ) di Inggris pada abad ke-18. Pada dasarnya
Revolusi Industri  merupakan penggantian tenaga manusia dengan tenaga
mesin. Dorongan terbesar terjadinya Revolusi Industri  ini saat penemuan
mesin uap oleh James Watt’s Th. 1764. Mesin ini menjadi pendorong utama tenaga
mesin penggerak pada pertanian pabrik. Percepatan Revolusi Industri
 terjadi pada tahun 1800 dengan dikembangkannya mesin yang menggunakan
bahan bakar dan listrik.
Penemuan mesin–mesin (meski berpenggerak manual) mendorong
pemilik bermodal besar untuk memperkerjakan banyak tenaga-tenaga buruh, dan
mendirikan gedung-gedung besar. Tempat-tempat kerja buruh yang digunakan untuk
berproduksi disebut manufacture. Manufacture-manufacture inilah yang merupakan
langkah awal terjadinya proses Industrialisasi. RI adalah awal dari
Industrialisasi di Inggris. Didukung oleh kekayaan alam ( bijih besi, batubara
) industrialisasi berkembang semakin cepat. Perkembangan RI menorong timbulnya
produksi dan pemasaran secara massal, mengawali timbulnya gagasan automatisasi,
serta menimbulkan pergeseran perkembangan orientasi perekonomian dari produksi
barang ke produksi jasa. 
Perkembangan industri dalam
industrialisasi sebagai dampak RI disebabkan masalah ekonomi khususnya dan
kemanusiaan umumnya, yaitu :
1.   
Bertambahnya penggunaan mesin
2.   
Efisiensi produksi batubara, besi
dan baja
3.   
Pembangunan Jalur kereta Api,
perkembangan alat transortasi dan komunikasi.
4.   
Meluasnya sistem perbankan dan
perkreditan.
Perkembangan industri di Inggris sangat ditunjang oleh
luasnya daerah-daerah koloni yang dikuasai Kerajaan Inggris saat itu, yang
sekaligus menjadi daerah-daerah pemasaran yang sangat potensial.
Era Industrialisasi di Amerika dimulai tahun 1804, saat
 Oliver Evans mengembangkan mesin uap tekanan tinggi yang dapat digunakan
untuk kapal dan pabrik. Kemudian pada tahun 1813, sekelompok pedagang kaya yang
terkumpul dalam Boston Associates membentuk Boston Manufacturing Company.
Mereka mendirikan pabrik pertamanya di Waltham, Massachusets.
Indonesia memasuki era
Industrialisasi Sejak Tahun 1826
Era Industri Indonesia dimulai pada jaman kolonial Belanda.
Yang mengejutkan, dari beberapa fakta, ternyata era Industri ini berdekatan
waktunya dengan awal perkembangan Industri di Inggris dan Amerika, yaitu abad
ke-18. Industri di Indonesia dimulai bersamaan dengan awal perkembangan
Pabrik-pabrik Gula di Jawa.
Gula  merupakan komoditas utama pada jaman kolonial
Belanda. Pada tahun 1667 datang sekelompok pedagang Belanda di Pulau Jawa yang
mendirikan VOC. Dengan peningkatan permintaan gula di Eropa maka pada tahun
1750 pabrik milik etnis Cina disewa untuk memproduksi gula di Eropa terutama di
pantai utara Jawa.
Awalnya
teknologi pengolahan tebu menjadi gula begitu sederhana dan tradisional. Cairan
atau sari tebu didapat dari alat pengepres berupa silinder batu atau kayu yang
diletakkan berhimpitan. Salah satu silinder diberi tonggak yang digerakka
secara manual oleh manusa atau ternak. Satau orang atau lebih memasukkan tebu
ketengah putaran silinder. Hasil press berupa cairan sari tebu dialirkan ke
kuali besar dibawahnya.
Karena tingginya permintaan di Eropa, perlahan teknologi ini
ditinggalkan. Mulailah Indonesia pada jaman Hindia Belanda memasuki Era
Industrialisasi dalam arti sebenarnya, yaitu penggunaan mesin-mesin dalam
melakukan proses produksi, sehingga meskipun menghasilkan volume output sangat
tinggi dibanding manual, quality tetap terjaga.
Dengan didukung modal besar, pada tahun 1830, pabrik gula di
Jawa Barat bertenaga mesin mulai berdiri. Ini dapat dilihat dengan adanya salah
satu surat dari Jessen Trail and Company
yang ditujukan pada NHM ( Bank ) berisi :
“In
Embarking on the enterpries we now on hand, we very sensible of the deficiency
of the rude and imperfect machinery by which the manufacture of sugar was
carried on here, and therefore determined to import European machinery, with
skillfull men to conduct the same … We now have ( 1826 ) three sets
of mills. Where we employ a European horizontal mill with three cylinders,
driven by a six horse power steam engine, a European eight horse power mill,
with three cylinder. Worked by complete sets of iron boilers and iron and
coppers clarifiers, as also three distilleries, comprising six European copper
stills … and a suitable complement of fermenting system for distiling the
molasses inti Arak and Rum .”
Terjemahan bebasnya kurang lebih
seperti ini.
“
Dalam memulai perusahaan – perusahaan kita saat ini, kami sangat menyadari
mesin-mesin yang digunakan untuk pembuatan gula sangat tidak efisien dan tidak
sempurna, oelh karena itu kami ingin mendatangkan mesin – mesin dari Eropa
beserta tenaga ahlinya. Kami saat ini ( 1826 ) memiliki tiga pabrik
penggilingan. Menggunakan  mesin giling horisontal dari Eropa dengan tiga
silinder, berpenggerak mesin uap  6 HP dan 8 HP, komplet dengan unit ketel
uap (boillers), clarifiers dari tembaga dan besi, dan tiga unit mesin destilasi
 ( destilleries ) dan enam unit penyulingan berbahan tembaga dari
Eropa…dan dilengkapi dengan sistem fermentasi untuk pembuatan arak dan rum.”
Sejak tahun 1826, Indonesia pada jaman Hindia Belanda telah
memiliki tiga pabrik gula menggunakan mesin - mesin produksi dan  Steam
Engine ( Ketel Uap ). Inilah titik awal lahirnya Industri di
Indonesia. Pada tahun  1837 – 1838 didirikan pabrik-pabrik gula
meggunakan mesin-mesin yang  lebih modern di wilayah wonopringgo, Sragie,
dan Kalimatie. Pertumbuhan industri ini menyebabkan tingginya permintaan
akan tenaga kerja. sejarah panjang tenaga kerja kontrak ( kuli kontrak ) di
mulai dan pendorong penerapan sistem tanam paksa ( cultuurstelsel ) "yang
brutal"   tahun 1830 untuk mendapatkan suplay tenaga kerja dan bahan
baku (tebu) dengan biaya murah.
Pesatnya pertumbuhan industri gula saat itu juga diikuti
oleh pertumbuhan industri kereta api di akhir abad ke-18. Tercatat, sejarah
perkeretaapian di Indonesia diawali dengan pencangkulan
pertama pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen, Jumat tanggal 17
Juni1864, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den
Beele. Pembangunan diprakarsai oleh "Naamlooze Venootschap Nederlandsch
Indische Spoorweg Maatschappij" (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de
Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung (26 Km). Sedangkan diluar Jawa (
Sumatera ), pembangunan Rel KA juga dilakukan di Aceh tahun 1874, Sumatera
Utara tahun 1886, Sumatera Barat tahun 1891, dan Sumatera Selatan tahun 1914. 
Kereta Api pada masa itu digerakkan oleh lokomotif  uap
( steam engine ) hasil pembakaran batu bara atau kayu.
Kesimpulannya, faktor pendorong
terjadinya era industri di Indonesia ( evolusi Industri di Indonesia ) yang
dimulai sejak tahun 1826 :
1.   
Penemuan mesin uap oleh James
Watt’s Th. 1764
2.   
Berkembangnya teknologi permesinan
dalam industri manufacture sebagai dampak dari Revolusi Indsutri di Inggris
tahun 1800
3.   
Tingginya permintaan komoditas gula
di Eropa
4.   Ketersediaan tenaga kerja murah
melalui sistem kerja kontrak oleh Pemerintah Hindia Belanda
5.  Ketersediaan Bahan Baku (tebu) murah
melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel) tahun 1830.
6.   
Perkembangan  Indsutri
 Kereta Api.
Anggota
:
*
Irma Yantika A         ( 23216591 )
*
Muhammad Dimas  ( 24216774 )
*
Puspita Febriyanti    ( 25216818 )
SUMBER :
http://dedylondong.blogspot.co.id/2012/12/saat-mengikuti-trainning-mengenai.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Industri
https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Industri

0 comments:
Post a Comment